Rabu, 03 Desember 2008

Belajar Menyelesaikan Masalah dari Khalid bin Walid
Jundi
Akhirnya kita sampai pada kisah kemenangan ekspedisi pasukan Muslim pada perang Yarmuk. Ekspedisi yang dipimpin Khalid bin Walid untuk menaklukan kebesaran Imperium Romawi, pada masa kekhalifahan Abu Bakar As-Shidiq.
Di suatu daerah yang bernama Yarmuk, pasukan Muslimin dengan pasukan Romawi bertemu. Telah sebulan lamanya, dua kubu tersebut berada di tempat itu, namun tidak ada yang berani menyerang lebih dulu. Masing-masing pada posisi saling menunggu dan menjaga jarak. Apa yang menahan mereka sehingga tidak segera saling bertempur?
Rupanya, masing-masing pasukan sama-sama merasa gentar untuk bertempur. Kubu Muslim merasa gentar untuk memulai menyerang lebih dulu karena mereka melihat jumlah kekuatan pasukan Romawi yang luar biasa besar. Inilah pengerahan pasukan yang terbesar dalam sejarah peperangan di dunia. Bayangkan! Pada saat itu, Romawi mengerahkan 240 ribu pasukan untuk menghadapi pasukan Muslim, yang jumlahnya jauh lebih kecil, hanya 36 ribu pasukan. Mereka belum punya pengalaman menghadapi pasukan dengan jumlah sebesar itu. Nyali pasukan Muslim menjadi ciut.
Lain halnya dengan pasukan Romawi. Mereka gentar karena melihat track record pasukan Muslim yang tak terkalahkan meskipun jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan jumlah mereka sendiri. Kisah-kisah penaklukan dan kemenangan pasukan Muslim dalam setiap peperangan sebelumnya telah menyebabkan pasukan Romawi berpikir seribu kali untuk menyerang lebih dulu. Mereka dihantui perasaan cemas dan gelisah akan menderita kekalahan dalam menghadapi pasukan Muslim.
Situasi berkembang menjadi tidak menentu. Di kalangan pasukan Muslim mulai dibayangi bahaya akan lunturnya disiplin dan pengkianatan anggota. Semakin besar kemungkinan akan adanya sebagian anggota yang melarikan diri, terutama bagi mereka yang baru saja masuk Islam, sehingga keimanan mereka belum mantap benar. Apalagi setelah melihat kekuatan musuhnya, dengan jumlah dan perlengkapan perang yang besar.
Melihat perkembangan demikian, Khalid bin Walid, selaku pimpinan perang, segera menganalisa situasi. Dia menyimpulkan bahwa rahasia kemenangan dalam peperangan ini adalah pada ketepatan strategi dan kekuatan mental pasukan, terutama pada keteguhan hati. Ia memandang bahwa larinya dua tiga orang tentara dari kesatuan mereka, akan menyebarkan kepanikan dan kekacauan seluruh pasukan. Akhirnya, sebelum mental pasukan benar-benar jatuh, dia memutuskan untuk menyerang lebih dulu dengan strategi memecah pasukan dalam beberapa kesatuan untuk memunculkan kesan gelombang pasukan yang besar.
Pada hari yang ditentukan, sebelum melakukan penyerangan, Khalid berpidato membakar semangat, meneguhkan mental pasukannya, “Hari ini adalah hari-hari Allah, tidak pantas kita berbangga-bangga dan berbuat durhaka. Maka ikhlaskanlah jihad kalian, dan harapkanlah ridha Allah dengan amal kalian. Daripada kalian sibuk menghitung jumlah musuh, lebih baik kalian sibuk menebas batang leher mereka....................”
Setelah seluruh pasukan menempatkan diri pada posisi yang telah ditetapkan, Khalid memerintahkan perempuan-perempuan Muslimah yang ikut ekspedisi Yarmuk untuk mengambil senjata. Mereka diperintahkan untuk berada di belakang barisan pasukan Muslimin di setiap penjuru. “Siapa yang melarikan diri, bunuhlah saja dengan senjata kalian”, perintah Khalid. “Allahu Akbar......, berhembuslah angin surga!” Khalid dan bala tentara Muslimin maju menyerbu pasukan Romawi. Peperangan berlangsung dengan kecamuk luar biasa dan kemenangan berada di pihak kaum Muslimin.
Diantara kisah kemenangan itu adalah ketika Khalid bin Walid mengerahkan satu kesatuan berjumlah 100 tentara untuk menyerbu sayap kiri pasukan Romawi yang jumlahnya 40 ribu orang. Sambil mengayunkan pedangnya, ia berseru, “Demi Allah, tidak ada lagi kekuatan pada orang-orang Romawi sebagaimana yang kalian lihat. Sungguh, Allah memberikan kesempatan pada kalian untuk menebas batang-batang leher mereka...!” Dan kemudian kesatuan tersebut menang.

****** Sobat, pelajaran kepemimpinan apa yang bisa kita petik dari kisah di atas?
Pertama, seorang pemimpin harus cerdas dan tepat dalam menganalisa situasi dan permasalahan. Sebagaimana panglima Khalid di atas, ia mampu membaca situasi dengan cermat. Ia menilai akar permasalahan sebenarnya bukan pada jumlah pasukan musuh yang jauh lebih besar tapi justru pada mental pasukan Muslimin yang diambang keraguan menghadapi musuh.
Mereka membutuhkan sosok pemimpin yang mampu berperan untuk meneguhkan mental mereka. Dan, Khalid bin Walid mampu memainkan peran tersebut. Jika seandainya situasi dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin akan semakin melemahkan semangat dan keberanian pasukannya. Oleh karena itu, ia segera memutuskan untuk menyerang lebih dulu.
Sobat, dalam organisasi apa pun, pasti akan ada saat-saat dimana muncul permasalahan yang kadarnya bisa mudah, susah, atau bahkan rumit dan memusingkan. Itu adalah bagian dari dinamika organisasi yang wajar. Jika ada suatu organisasi yang adem ayem saja, tidak pernah ada permasalahan yang mengemuka, itulah yang tidak wajar. Mengapa? Karena tanpa ada permasalahan yang muncul berarti organisasi tersebut akan stagnan. Mandek. Tidak dinamis. Menjemukan. Kalau sudah demikian, itulah tanda-tanda organisasi yang tidak sehat.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin ketika menghadapi masalah? Seperti Khalid bin Walid, analisa situasi permasalahan dengan baik. Lakukan proses identifikasi faktor-faktor yang terlibat dalam masalah tersebut. Lalu, buat skema masalah yang obyektif untuk bisa menemukan akar permasalahan yang sebenarnya. Dengan demikian, kita bisa memutuskan solusi apa yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pelajaran kedua, seorang pemimpin harus punya inisiatif untuk segera mengambil keputusan. Apa yang akan terjadi seandainya Khalid bin Walid tidak segera membuat memutuskan untuk menyerang lebih dulu? Sangat besar peluang terjadinya mental dan semangat pasukannya makin melemah. Bahkan bukan tidak mungking akan ada dua tiga prajuritnya yang mundur melarikan diri. Dan ini berarti masalah bertambah besar bagi pasukan Muslimin.
Pelajaran bagi kita adalah, begitu kita selesai menganalisa masalah kemudian berhasil melakukan identifikasi akar permasalahan, langkah selanjutnya adalah mengambil langkah-langkah yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan. Dan, yang harus diingat, pada tahap ini kita harus segera mengambil keputusan. Jangan biarkan masalah berlangsung lama berlarut-larut tanpa penyelesaian. Jika orientasi pemikiran terlalu lama berkutat pada selalu mencari-cari titik permasalahannya, tanpa pernah kita mengarahkan pada bagaimana kita menyelesaikan masalah tersebut, maka akan bisa dipastikan masalah menjadi makin besar atau bahkan bertambah muncul masalah yang baru. Jika demikian adanya, semakin pusinglah kita. Masalah satu belum selesai, muncul masalah berikutnya.
Ketiga, seorang pemimpin harus tegas. Kita membutuhkan satu modal berupa ketegasan dalam melaksanakan langkah-langkah penyelesaian masalah. Apa tujuan Khalid memerintahkan para Muslimah berjaga di belakang barisan pasukannya? Tidak lain untuk mencegah pasukannya melarikan diri. Seandainya ada yang berani melarikan diri, maka kematian yang sia-sia menjadi resikonya. Efeknya adalah, para prajurit tentu akan berpikir, sama-sama resiko mati, daripada mundur lalu mati sia-sia, lebih baik memilih maju berjihad, lalu syahid dan mendapatkan pahala.
Itulah efek ketegasan Khalid bin Walid terhadap pasukannya. Ketegasan model beginilah yang kita butuhkan. Ketegasan yang tidak tanggung-tanggung. Jika seorang pemimpin tegas, maka anak buahnya akan belajar komitmen dan konsisten terhadap apa yang menjadi perintah pimpinan atau keputusan organisasi. Namun jika pemimpin tidak tegas, maka yang terjadi adalah anak buah menjadi tidak loyal. Akan muncul anak buah yang membangkang terhadap perintah atau kebijakan pimpinan.

Referensi
1. Sirah Nabawiyah
2. Khaldi Muh. Khalid. 1998. Karakteristik Perihidup Enampulah Sahabat Rasulullah SAW. Penerbit Diponegoro

Rabu, 26 November 2008

Menjaga Soliditas Organisasi
Jundi

Seringkali terjadi organisasi yang sedang berada pada puncak kejayaanya, tiba-tiba saja mengalami permasalahan internal yang serius. Antar pengurus saling ribut. Tiba-tiba saja sudah terbentuk kubu-kubu yang saling berlawanan diantara sesama pengurus atau anggotanya. Sampai akhirnya, nasib organisasi tersebut jadi pecah atau malah tidak jelas dan kemudian bubar.

Hal yang sama, tidak jarang juga terjadi pada organisasi yang baru saja dibentuk. Tidak lama setelah rapat kerja digelar, muncul permasalahan internal. Pengurus ribut, saling berdebat dan berwacana hingga lupa dengan program kerja yang jadi kewajibannya. Akhirnya nasib organisasi tersebut pun sama, pecah atau malah bubar di awal perjalanannya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana menjaga soliditas organisasi? Jawabannya tersirat dalam sebuah sirah yang menceritakan hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah. Saat itu, berbondong-bondong penduduk Madinah ke luar rumah hendak menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW dan rombongannya. Mereka seperti tidak sabar menunggu, setelah tersiar berita tentang rencana hijrah Nabi. Sebelumnya mereka juga sudah mendengar kabar tentang gerakan dakwah Nabi, berita tentang Quraisy yang hendak membunuhnya, tentang ketabahannya menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihama.

Setiba di Madinah, unta yang dinaiki Nabi SAW berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. Amr. Kemudian, Rasulullah memutuskan untuk membangun masjid di tempat tersebut. Sementara tempat itu dibangun beliau tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid b. Zaid al-Anshari. Dalam membangun mesjid itu Muhammad juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal Rasul. Baik pembangunan mesjid maupun tempat-tempat tinggal itu tidak sampai memaksa seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Rasul SAW.

Selesai membangun masjid, Rasulullah SAW berpikir tentang bagaimana menyusun barisan kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini diajaknya kaum Muslimin supaya masing-masing dua bersaudara, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b. Abi Talib. Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu Bakr bersaudara dengan Kharija b. Zaid. Umar ibn'l-Khattab, bersaudara dengan 'Itban b. Malik al-Khazraji.

Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Madinah (sesudah mereka yang tadinya masih tinggal di Mekah menyusul ke Madinah setelah Rasul hijrah) dipersaudarakan pula dengan setiap orang dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum saudara sedarah senasib. Dengan persaudaraan demikian ini persaudaraan kaum Muslimin bertambah kukuh adanya.

Sobat Cendekia, ada dua kunci utama yang dimainkan oleh Rasul SAW untuk menjaga kesolidan kaum Muslimin, yaitu membangun masjid dan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan Anshar.

Membangun masjid
Apa hubungan membangun masjid dengan kesolidan organisasi? Ada banyak maksud yang bisa dicapai melalui pembangunan masjid. Lebih dari sekedar dibangun untuk sholat berjamaah atau pelaksanaan ibadah ritual. Masjid dibangun juga sebagai pusat tempat Rasulullah memberikan pengajaran nilai-nilai Islam kepada kaum Muslimin. Lagi-lagi, lebih dari sekedar melakukan kegiatan mengajarkan Islam, Rasulullah sebenarnya juga sedang melakukan penjagaan atas gagasan yang muncul dalam pikiran masing-masing kaum Muslimin. Rasulullah sedang mengontrol pemikiran-pemikiran dalam benak kaun Muslimin. Penjagaan atas gagasan. Kata ustad Anis Matta, itulah kunci kesolidan organisasi.

Gagasan perlu dikendalikan karena organisasi merupakan wadah terjadinya interaksi yang dinamis antara masing-masing unsur internal organisasi dan lingkungan strategis. Gagasan yang perlu dijaga meliputi, prinsip-prinsip dasar organisasi yang bersifat permanen, mutlak, yang biasa disebut tsawabit dan yang bersifat kondisional, biasa disebut mutaghayyirat.

Interaksi antar unsur organisasi dan juga realitas lingkungan organisasi akan melahirkan dinamika pemikiran yang tidak tertutup kemungkinan untuk menyimpang dengan tujuan dan nilai dasar organisasi. Kontrol atas gagasan bukan berarti penjegalan atas munculnya ide dan kreativitas baru. Tetapi kontrol dilakukan untuk memastiakn bahwa proses kreatif yang terjadi akan melahirkan ide dan gagasan yang tidak menyimpang atas tujuan dan nilai dasar organisasi.

Diskusi yang (sengaja di-)muncul atas gagasan tersebut harus dibangun dalam kerangka metodologi yang benar dan obyektif. Tugas para pemimpin adalah mengarahkan diskusi tersebut, sehingga kesimpulan yang lahir tetaplah tidak keluar dari tsawabit organisasi tersebut. Namun demikian, kontrol yang terlalu ketat akan melahirkan kepemimpinan yang total-otoritarian, yang pada akhirnya menjadi malapetaka bagi organisasi tersebut.

Sejarah Orde Baru bangsa ini, telah menunjukkan bagaimana kontrol atas gagasan dilakukan sangat ketat oleh pemerintah yang berkuasa. Setiap muncul pemikiran atau ide yang sedikit ”berbeda” akan dikenakan pasal subversif, yang itu berarti penjara bagi sang pemilik ide. Akhirnya, Orde Baru tumbang karena ke-otoriter-annya.

Kesimpulannya, adalah tugas para pemimpin untuk menjaga gagasan dan pemikiran yang ada di masing-masing benak pengurus dan anggota organisasi supaya tetap berada pada tsawabit-nya. Jika muncul perdebatan dan diskusi tentang sebuah tema, pemimpin yang baik akan berposisi sebagai moderator sekaligus wasit.

Membangun ukhuwah
Tugas pemimpin yang kedua adalah membangun ukhuwah sehingga menjadi satu potensi tersendiri dalam mendukung kesolidan organisasi. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW, puncak dari pembangunan ukhuwah adalah terbentuknya rasa senasib-sepenanggungan antar anggota jamaah, yang berakar pada dua hal yaitu itsar dan tsiqoh. Itsar adalah mendahulukan kepentingan saudara atas kepentingannya sendiri. Sedangkan tsiqoh adalah tingkat kepercayaan atau keyakinan yang sepenuhnya kepada saudara. Mustahil kesolidan pengurus berdiri dengan kokoh jika tidak dibangun dengan pondasi itsar dan tsiqoh yang kuat.

Sebagian besar kasus-kasus perpecahan organosasi yang sering kita lihat adalah berakar dari tidak adanya ukhuwah yang terbangun di antara masing-masing unsur organisasi. Rasa senasib-sepenanggungan tidak ada di hati para pengurus dan anggotanya. Masing-masing berjalan dengan kepentingannya sendiri. Akhirnya, masing-masing bekerja hanya untuk memenuhi atau menyelamatkan kepentingannya. Tujuan organisasi tidak lagi menjadi orientasi kerja, namun tidak lebih dari sekedar tulisan tanpa makna dalam AD-ART.

Ukhuwah, ukhuwah, dan ukhuwah. Itulah pekerjaan pertama para pemimpin dalam membangun organisasi yang solid. (Jundi)

Referensi
1. Dari Gerakan ke Negara. Anis Matta. 2006. Penerbit Fitrah Rabbani
2. Sirah Nabawiyah.
Komunikasi Efektif
Jundi

Semenjak pembebasan Mekah, laju dan gerak dakwah Islam ke seantero negeri di sekitar jazirah Arab semakin besar. Berbondong-bondonglah orang masuk dan bergabung dalam jamaah Islam bersama Rasulullah SAW. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan Kaisar Romawi saat itu. Maka dikirimlah tentara Romawi dalam ekspedisi besar-besaran untuk menghadang laju pergerakan Islam.

Kini tiba saat yang menegangkan. Jarak antara pasukan Muslimin dengan bala tentara Romawi semakin mendekat. Tidak lama lagi, dalam hitungan beberapa hari saja, peperangan besar akan berkobar. Namun, saat itu masih belum terbayangkan di benak kaum Muslimin tentang keadaan pasukan Romawi yang akan dihadapi. Semangat perang yang telah berkobar menghilangkan pikiran-pikiran tentang keadaan musuh.

Kemudian datanglah informasi dari intelijen bahwa ekspedisi bala tentara Romawi jumlahnya luar biasa besar. Ukurannya berlipat ganda dibandingkan dengan jumlah pasukan Muslim saat itu. Perlengkapan dan satuan perangnya pun jauh lebih lengkap. Satuan tentara gajah Romawi yang sudah terlatih perang dilibatkan dalam ekspedisi kali ini.
Rupanya, berhadapan dengan pasukan dengan jumlah yang luar biasa besar dan lengkap mampu menyurutkan semangat juang pasukan muslim. Keadaan berbalik 180 derajat. Benih-benih rasa takut mulai menyeruak. Pekikan keras gajah-gajah perang Romawi, dimana sebelumnya pasukan Muslimin belum pernah berperang melawan gajah, semakin menciutkan nyali pasukan Muslimin.

Keadaan semakin genting. Keteguhan kaum Muslimin menjadi goyah. Muncul pikiran untuk mundur perang. Melihat demikian, Ikrimah bin Abi Jahal, salah seorang pimpinan pasukan Muslimin saat itu, tampil berpidato ke depan. Dengan lantang, ia berkata, ”Dulu aku memerangi Rasulullah SAW pada setiap tempat dan aku tidak pernah lari, lalu sekarang apakah aku aku lari dari kalian semua? Sungguh sesuatu yang memalukan.” Lalu, ia meneruskan seruannya, ”Siapa diantara kalian yang ingin berbai’at untuk syahid?”. Sejurus kemudian, satu persatu diantara pasukan Muslimin maju ke depan. Akhirnya, Ikrimah bin Abi Jahal dibai’at 400 orang pasukan Muslim beserta pasukan kudanya untuk maju berperang menjemput syahid.

Tanpa melalui proses yang panjang, Ikrimah bin Abi Jahal mampu mengembalikan keadaan, dimana hati kaum Muslimin yang dipenuhi ketakutan berubah kembali menjadi seperti sebelumnya, penuh semangat juang. Jumlah dan perlengkapan bala tentara Romawi yang jauh lebih besar tidak lagi menjadi sumber kerisauan, justru menjadi pembakar semangat dan nyali menuju syahid.

Sobat, apa yang menjadi pelajaran dari seorang Ikrimah bin Abi Jahal? Sebenarnya, banyak yang bisa diambil pelajaran. Tapi kali ini, kita akan bahas tentang komunikasi efektif. Ya, Ikrimah bin bin Jahal telah menunjukkan kepada kita bagaimana seorang pemimpin harus memiliki kemampuan berbicara yang cakap. Ikrimah hanya menyampaikan beberapa kalimat saja, namun sangat mengena dan menggugah hati pendengarnya.

Pada saat-saat yang genting, dimana setiap keputusan atau pilihan akan sangat berpengaruh dan menentukan nasib organisasi selanjutnya, maka kemampuan seorang pemimpin dalam berbicara sangat dibutuhkan. Komunikasi efektif. Berbicara yang tidak perlu panjang lebar. Apalagi bertele-tele. Cukup beberapa kalimat saja, namun mampu memberikan daya pengaruh yang luar biasa pada pendengarnya.

Dialah Ikrimah bin Abi Jahal. Dulunya adalah orang yang paling keras memusuhi Rasulullah SAW. Tapi sekarang, dia telah menjadi seorang figur pemimpin Muslim sejati teladan bagi kita.

Komunikasi
Komunikasi merupakan instrumen utama dalam sebuah organisasi. Komunikasi dibutuhkan oleh setiap unit di semua level dalam organisasi. Mulai dari staf sampai pemimpin puncak, semuanya membutuhkan komunikasi. Dari bagian atau divisi terendah sampai level pimpinan perusahaan, direktur, semua menggunakan komunikasi sebagai bagian dari aktivitasnya. Kalau ingin organisasi berjalan, maka bangunlah komunikasi di dalamnya.

Logikanya mudah saja. Kita memulainya dari sebuah organisasi. Kita semua sudah memahami bahwa inti dari organisasi adalah amal jama’i. Kemudian, tidak ada amal jama’i, jika tanpa ada interaksi. Artinya, amal jama’i hanya bisa berjalan jika masing-masing bagian saling berinteraksi. Dan yang mesti diingat adalah, tidak akan terjadi interaksi, selama tidak terjalin komunikasi. Kesimpulannya, jika tidak ada komunikasi berarti tidak terjadi interaksi, sama saja berarti tidak ada organisasi.

Sebenarnya komunikasi itu apa sih? Komunikasi adalah berbicara. Tapi, berbicara dalam arti yang luas. Lebih dari sekedar lisan kita berucap mengeluarkan kata dan kalimat kepada orang lain. Kalau berbicara secara lisan, disebut komunikasi lisan. Berbicara juga bisa dalam bentuk tulisan, seperti pesan dan surat, termasuk kode atau sandi tulisan. Nah, yang ini disebut komunikasi tulis.

Ada bentuk berbicara lain, yaitu dengan bahasa tubuh. Tidak perlu berkata-kata atau menulis, cukup memberikan isyarat anggota tubuh, kita bisa berkomunikasi. Contohnya, kita bisa langsung menebak temen kita sedang sedih, marah atau gembira, cukup dengan hanya melihat raut mukanya saja. Itulah komunikasi isyarat.

Dari tiga bentuk komunikasi tadi, semuanya memiliki empat unsur penting, yang disebut unsur komunikasi yaitu, pemberi pesan, pesan atau informasi yang disampaikan, penerima pesan, dan respon. Coba sobat ingat lagi kisah Ikrimah bin Abi Jahal di atas! Sebutkan empat unsur komunikasinya!

Ya, unsur pemberi pesannya adalah Ikrimah bin Abi Jahal. Pesan yang disampaikan adalah kalimat yang diucapkan Ikrimah, berisi tentang semangat syahid. Penerima pesannya adalah sekelompok pasukan dari kaum Muslimin yang merasa takut dengan tentara Romawi. Responnya berupa sebanyak 400 pasukan Muslimin dengan kudanya berbai’at maju perang.

Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif sangat dibutuhkan dalam setiap pekerjaan di lembaga atau organisasi manapun. Bagi seorang pemimpin, komunikasi efektif menjadi modal penting dalam melakukan negosiasi, mendelegasikan tugas, menurunkan kebijakan, dan mempengaruhi anak buahnya. Apabila seorang pemimpin berhasil dalam menjalin komunikasi, maka hal tersebut merupakaan jaminan kesuksesan dalam usaha pencapaian tujuan jamaah dan memperbaiki kinerjanya.

Komunikasi efektif terjadi bila ada pemberi pesan menyampaikan suatu pesan atau informasi kepada penerima. Kemudian, pesan dapat diterima dengan baik dan dipahami penerima, sehingga muncul respon sesuai dengan yang diharapkan oleh sang pemberi pesan.

Agar komunikasi bisa berjalan efektif, Jamal Madhi (2001) menyampaikan bahwa dalam berkomunikasi, seorang pemimpin mesti memperhatikan beberapa faktor berikut,

1. Suasana atau kondisi emosional
Perintah atau arahan dari seorang pemimpin akan segera dilaksanakan oleh bawahannya, jika dalam penyampaiannya, menggunakan bahasa yang sesuai dengan suasana dan kondisi emosional bawahan. Misalnya, seperti pada kisah Ikrimah bin Abi Jahal di atas, suasana kaum Muslimin saat itu sedang ciut nyalinya. Maka, sang pemimpin membangkitkan keberanian dan semangat pasukan dengan bahasa yang provokatif dan retorika. Hasilnya, tanpa butuh banyak kalimat, semangat pasukan kembali menyala.

2. Loyalitas atau permusuhan
Loyalitas dan permusuhan merupakan wilayah yang sangat sensitif pada perasaan seseorang. Orang bisa dengan mudah tergerak hatinya untuk spontan melakukan sesuatu jika tersentuh pada wilayah tersebut. Pesan yang isinya menyentuh sisi loyalitas dan permusuhan biasanya sangat mudah membangkitkan respon seseorang. Ikrimah bin Abi Jahal menggunakan kalimat, ”Siapa diantara kalian yang ingin berbai’at untuk syahid?” Itulah kalimat yang menyentuh wilayah loyalitas seseorang.

3. Tujuan dan target
Bagi seorang pemimpin, berkomunikasi, baik dengan anggota jamaah maupun dengan pihak eksternal, harus memiliki tujuan dan target yang jelas. Apa tujuan dari pembicaraan ini? Itulah pertanyaan yang senantiasa muncul di awal sebelum pembicaraan dimulai.

Dengan adanya tujuan dan target yang jelas, maka kita dapat merencanakan kalimat apa yang sebaiknya kita pakai, bagaimana respon yang kita harapkan dari lawan bicara, dan sampai kapan pembicaraan ini harus kita selesaikan.
Pada kisah di atas, Ikrimah bin Abi Jahal sudah menentukan tujuan dan target yang jelas sebelum dia berbicara. Melalui seruan lantangnya, dia ingin kaum Muslimin menjadi bersemangat dan tidak ketakutan menghadapi tentara Romawi. Oleh karena itu, agar mengena tepat sasaran, kalimat yang diserukan pun lebih bersifat heroik, provokatif, dan retorika.

4. Arah dan respon
Seringkali dalam pembicaraan, respon lawan bicara berbeda dari harapan kita sebelumnya. Kita tidak siap menghadapinya karena sebelumnya tidak membuat prediksi, dan akhirnya kebingungan menentukan sikap. Arah pembicaraan menjadi keluar jalur dan tujuan kita tidak tercapai.

Oleh karean itu, selain tujuan dan target, kita harus membuat prediksi tentang kemungkinan-kemungkinan arah pembicaraan yang akan terjadi dan respon yang mungkin akan muncul dari lawan bicara kita. Jadi, dalam berkomunikasi kita mesti membuat skenario pembicaraan, sehingga menjadikan kita lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang akan muncul.

5. Rasa dihargai, atau justru diabaikan
Hargai orang lain,maka engkau akan dihargai. Dengarkan orang lain, maka engkau pun akan didengarkan. Itulah kalimat bijak yang patut menjadi acuan setiap pemimpin dalam mengelola organisasinya. Sebagian besar pemimpin memiliki pengaruh yang kuat ke orang lain bukan karena modal kekuatan atau kecerdasan yang tinggi, tetapi karena kesediaannya menyediakan waktu untuk mendengarkan dan menghargai pandapat orang lain.

Senin, 17 November 2008


we'll live for thousands years....
Memaknai Masalah
Jundi

Pada detik-detik menjelang perang Badar, tiba-tiba saja kondisi berubah total. Kini kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu Sufyan dengan kalifahnya serta tigapuluh atau empatpuluh orang rombongannya itu saja, yang takkan dapat melawan Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, melainkan Mekah dengan seluruh isinya sekarang keluar dipimpin oleh pemuka-pemuka mereka sendiri guna membela perdagangan mereka itu.

Masalah besar tengah dihadapi kaum Muslimin. Andaikata pihak Muslimin sudah dapat mengejar kafilah Abu Sufyan, kemudian mengambil tawanan dan menguasai unta beserta muatannya, pihak Quraisypun tentu akan segera pula dapat menyusul mereka. Soalnya karena terdorong oleh rasa cintanya kepada harta dan ingin mempertahankannya. Mereka merasa sudah didukung oleh sejumlah orang dan perlengkapan yang cukup besar. Mereka bertekad akan bertempur dan mengambil kembali harta mereka, atau bersedia mati untuk itu.


Namun sebaliknya, apabila rombongan Rasulullah SAW kembali pulang, pihak Quraisy dan Yahudi Medinah tentu merasa mendapat angin. Dia sendiri terpaksa akan berada dalam situasi yang serba dibuat-buat, sahabat-sahabatnya pun terpaksa akan memikul segala tekanan dan gangguan Yahudi Medinah, seperti gangguan yang pernah mereka alami dari pihak Quraisy di Mekah dahulu. Ya, apabila ia menyerah kepada situasi semacam itu, mustahil sekali kebenaran akan dapat ditegakkan dan Tuhan akan memberikan pertolongan dalam menegakkan agama itu.

Dengan berkekuatan 1000 pasukan, kaum kafir Quraisy telah berada di medan perang Badar. Tak ada kemungkinan untuk menghindar dari perang bagi kaum Muslimin. Suka atau tidka suka, Rasulullah SAW dengan 300an pasukannya harus maju menghadapi pasukan yang jumlahnya tiga kali lipat.

Rasulullah SAW memahami situasi genting ini. Beliau memutuskan untuk bemusyawarah dengan dengan sahabat-sahabatnya. Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy menurut berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga lalu memberikan pendapat, kemudian diikuti Miqdad bin 'Amr. Mereka menyatakan siap maju perang. Saad bin Muadz, pemimpin kaum Anshar, segera menanggapi dan menyatakan kesiapannya mengikuti perintah perang Rasulullah SAW.


Rasulullah SAW dan pasukannya berangkat menuju Badar melalui bukit Ash’shafir, kemudian melewati daerah yang bernama ad-Diyah, kemudian berhenti tidak jauh dari Badar. Di tempat itulah, pasukan Muslimin menyusun strategi perang. Dengan strategi yang jitu, mereka berhasil mengalahkan pasukan kafir Quraisy, meski jumlah lawan jauh lebih banyak.


Sobat, pelajaran tentang kepemimpinan yang sangat berharga dapat kita simak dari kisah perang Badar diatas. Rasullullah SAW dan para sahabatnya telah menunjukkan kepada kita tentang bagaimana seorang pemimpin harus menyikapi permasalahan yang tengah dihadapi, seperti halnya masalah besar pasukan Muslimin menjelang perang Badar. Bagaimana seorang pemimpin memaknai sebuah masalah?


Masalah adalah kesempatan
Bagi seorang pemimpin, masalah adalah kesempatan untuk banyak hal. Kesempatan untuk meningkatkan kemampuan diri. Kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Kesempatan untuk membentuk integritas diri. Kesempatan untuk menuju kesuksesan yang lebih tinggi. Kesempatan untuk maju. Kesempatan untuk berevaluasi.
Masalah adalah kesempatan untuk apa saja. Tentunya bagi seorang pemimpin muslim sejati, maka masalah adalah kesempatan untuk beramal lebih banyak. Kesempatan untuk menambah ladang pahala. Kesempatan untuk menyiapkan bekal bagi akhirat kita.

Bagi pasukan Muslimin Badar, medan perang ini adalah kesempatan emas untuk membuktikan eksistensi kaum Muslimin bagi kaum kafir. Inilah momen penting yang sangat menentukan kesuksesan masa depan dakwah Islam. Jika kesempatan ini terlewatkan, maka boleh jadi dakwah Islam akan berhenti saat itu juga.


Selain itu, inilah kesempatan bagi para sahabat untuk membuktikan keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya. Maka meski mereka menghadapi masalah jumlah pasukan yang lebih banyak, tapi tidak mengendurkan semangat perang mereka. Nah, karena masalah adalah kesempatan, maka pada saat datang, kita akan menganggapnya sebagai hadiah yang kita terima dengan sukacita. Bahkan kita akan menunggunya dengan harap, seandainya masalah tidak datang.

Masalah adalah tantangan
Janganlah menganggap masalah sebagai suatu beban yang harus dipikul di pundak. Ketika kita memaknai masalah sebagai beban, maka kita akan cenderung menghindarinya. Sikap ini akan memunculkan pesimisme dalam diri sobat. Dan sobat tahu, bahwa orang-orang yang gagal adalah yang suka menghindari masalah. Ubahlah paradigma berpikir seperti itu. Anggaplah masalah adalah tantangan.


Ketika kita memaknainya sebagai tantangan, maka kita akan cenderung berusaha menghadapinya. Pada saat itu, optimisme akan muncul dengan sendirinya. Dan sobat juga tahu, bahwa optimisme adalah modal utama untuk mencapai kesuksesan. Sikap optimis akan melahirkan semangat dalam berusaha mencari solusi atas masalah yang dihadapi.


Sikap seorang pemimpin yang optimis dan bersemangat juga mampu mempengaruhi suasana hati para pengikutnya menjadi bersemangat pula. Anda dapat dengan mudah mempengaruhi bawahan Anda, ketika Anda tampil optimis dan bersemangat dalam menghadapi masalah.


Jika masalah adalah tantangan, maka untuk menyelesaikannya pun membutuhkan kekuatan. Kekuatan hati, pikiran, tenaga, waktu, dan sebagainya. Karena itu, seringkali kita berubah menjadi jauh lebih kuat, setelah berhasil menyelesaikan masalah sebelumnya. Bukanlah menjadi lemah, justru kekuatan akan menjadi milik Anda, ketika Anda menghadapi dan menyelesaikan masalah. Bukankah kaum Muslimin menjadi semakin kuat pasca kemenangan di medan Badar?


Sama halnya dengan anak-anak elang. Hadiah terbesar bagi anak elang, yang dapat diberikan induk elang, bukanlah potongan daging makanan, bukan pula eraman hangat di malam yang dingin. Namun, ketika sang induk melemparkan mereka dari sarang yang tinggi di pohon. Detik pertama, anak elang akan menjerit ketakutan, mengira induknya sungguh keterlaluan, membiarkan anaknya jatuh ke tanah, menghadapi kematian.


Sesaat kemudian, bukanlah kematian yang mereka dapatkan, justru kekuatan yang menjadi modal utama sepanjang hidupnya. Mereka mendapatkan kesejatian sebagai seekor elang, yaitu kemampuan terbang. Anak-anak elang itu telah mampu menghadapi masalah dan mengubahnya menadji kekuatan. Kekuatan terbang.


Nah sobat, kadang kita juga sering dibayangi, seolah-olah masalah yang kita hadapi besar dan sangat sulit dipecahkan. Padahal ketika kita mau mecoba mengatasinya, ternyata mudah dan ringan diselesaikan. Maka, hadapi dan lakukan sesuatu sekarang untuk mengatasi Anda. Jangan tunda lagi. Kita belum tentu masalahnya sebesar dan sesulit yang kita takutkan.



Pustaka
Hepi Andi Bastoni. 2006. Belajar dari Dua Umar. Qalammas.
Khalid M. Khalid. Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Penerbit Diponegoro
Andi Muzaki. Buku Digital: Motivasi Net.
Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad.http://www.geocities.com/mhhaekal/

Kamis, 13 November 2008

Memimpin dengan Pengaruh

Adalah Rasulullah Muhammad SAW, sosok yang buta huruf namun mampu mengubah wajah peradaban dunia melalui risalah Islam yang diajarkannya. Beliau dikenal sebagai seorang pemimpin agama, panglima perang, diplomat ulung, sekaligus negarawan yang handal.
Dalam sejarah, dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW, situasi sosial dan politik wilayah Arab yang dipenuhi dengan persaingan antarsuku dan tata kehidupan yang keras khas padang pasir berubah menjadi sebuah komunitas yang bersatu dengan peradaban yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Beliau adalah sosok pemimpin yang sukses.
Salah satu kunci instrumen penting dalam kepemimpinan Rasulullah yang patut kita tiru adalah kemampuan beliau dalam mempengaruhi orang lain. Stephanie Barrat-Godefroy (penulis buku tentang mamajemen SDM), menguraikan bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin sejati adalah harus mampu mempengaruhi orang lain. Kemampuan mempengaruhi orang lain lain menjadi modal dasar seorang pemimpin, bagi komunitas apapun, dari lembaga bisnis, pemerintahan, agama, dan sebagainya.
Pertanyaannya adalah apa yang bisa membuat seorang pemimpin memiliki pengaruh yang kuat terhadap para pengikutnya? Ada beberapa hal, yaitu

Ketinggian ilmu
Kepandaian seseorang dapat menyebabkan seseorang itu berpengaruh terhadap orang lain. Bahkan seorang khalifah sekalipun bisa tunduk kepada seorang yang memiliki ketinggian ilmu. Suatu ketika, khalifah Harun ar-Rasyid mendengar ketinggian ilmu Imam Malik, peletak dasar Mazhab Maliki.
Sang khalifah tertarik supaya anak-anaknya belajar pada sang ulama. Ia meminta sang ulama untuk datang ke istana khalifah. ”Saya ingin anak-anakku mendengarkan kajian kitab al-Muwaththa’ di istana,” ujar Harun ar-Rasyid.
Namun, betapa terkejutnya sang khalifah, Imam Malik tidak mau datang ke istananya. Dengan tegas Imam Malik menjawab, ”al-Ilmu yu’ta alaihi wa la ya’ti” (Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi). Harun ar-Rasyid tidak bisa apa-apa. Ia lantas menyuruh putra-putranya datang ke masjid tempat Imam Maliki memberikan kajian untuk mengaji bersama rakyatnya.
Sobat, bisa kita lihat bahwa pengaruh seseorang bisa timbul karena ketinggian ilmunya. Namun perlu diperhatikan, bahwa jangan dikira dengan sebatas menguasai ilmu saja, kita bisa menjadi orang yang berpengaruh. Menuntut ilmu harus disertai dengan mengamalkannya secara ikhlas. Pengamalan dengan ikhlas atas ilmu akan menumbuhkan rendah hati yang memancarkan kewibawaan. Itulah kunci kenapa Imam Malik menjadi begitu berpengaruh.

Kemampuan lisan
Tidak semua pengaruh muncul dari ketinggian ilmu. Pengaruh bisa tumbuh karena kecerdasan lisan seseorang. Kemampuan berbicara, orasi, atau berdiplomasi yang baik dapat digunakan untuk mempengaruhi orang lain. Bung Karno, presiden pertama RI, adalah contoh pemimpin berpengaruh sekaligus orator yang ulung.
Mari kita simak siroh tentang sahabat Mush’ab bin Umair! Beliau adalah duta dakwah pertama yang diutus Rasulullah membuka dakwah di Madinah. Pada suatu hari, Mush’ab bin Umair menyampaikan dakwah di hadapan kabilah Abdul Asyhal di Madinah, tiba-tiba beliau dihadang Usaid bin Hudlair, sang kepala kabilah.
”Apa maksud kedatanganmu ke sini? Apakah hendak membodohi kaumku? Tinggalkan segera tempat ini! Atau nyawamu akan melayang!” bentak Usaid sambil menodongkan tombak ke dada ibnu Umair.
Dengan tenang dan halus, Mush’ab bin Umair menjawab, ”Bagaimana jika Anda duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya Anda menyukai nanti, Anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, saya akan menghentikan apa yang tidak Anda sukai!”
Mendengar permintaan halus tersebut, seketika Usaid menjatuhkan tombaknya dan meminta ibnu Umair untuk menyampaikan dakwahnya. Segera Mush’ab bin Umair membacakan ayat-ayat Al-Quran dan menguraikan dakwah yang dibawakan Muhammad SAW. Hasilnya, hati dan pikiran Usaid mulai terbuka dengan hidayah Allah yang bercahaya, Usaid bersyahadat. Tidak lama kemudian, keislaman Usaid bin Hudlair diikuti Sa’ad bin Mu’adz, kemudian Sa’ad bin Ubadah. Pasca masuk Islamnya tiga tokoh tersebut, masyarakat Madinah berbondong-bondong masuk Islam.
Sobat, sosok sahabat Mush’ab bin Umair menjadi teladan kita tentang bagaimana kemampuan diplomasi lisan dapat mempengaruhi pikiran orang. Dengan pertolongan Allah SWT melalui kemampuan lisannya, Mush’ab bin Usaid mampu mempengaruhi masyarakat Madinah dan kemudian mempersiapkan Madinah untuk kedatangan rombongan hijrah kaum Muslimin dari Mekah.

Kekuatan kepribadian
Dialah Abdurrahman ibnul Jauzi. Beliau memang hanya seorang ulama, tapi kekuasaan dan pengaruhnya mampu melebihi kekuasaan seorang raja. Dengan kekuatan kepribadiannya, kharismanya, beliau mampu mengusai jalan pikiran setiap orang yang mendengarkan petuahnya.
Untaian kalimat nasihat yang keluar lisannya, mampu melembutkan hati sekeras batu sekalipun. Sinar matanya yang penuh wibawa dan kharisma mampu menjinakkan keliaran mata. Setiap kali ia berkhotbah, ribuan atau bahkan ratusan ribu orang menemui kesadaran kembali. Bahkan penguasa digdaya yang tidak pernah menangis seumur hidupnya akan menangisi dirinya di hadapannya.
Apa yang menyebabkan pengaruh yang beliau miliki begitu luar biasa di hadapan orang lain? Jawabannya tidak lain karena kekuatan kepribadian beliau. Kepribadian yang terbentuk dari kharisma dan pesona diri. Ya, kepribadian beliau menjadi berpengaruh karena kharismanya. Kharisma tumbuh dari gabungan wibawa dan pesona, ilmu dan akhlak, pikiran dan tekda, keluasan wawasan dan kelapangan dada. Beliau menebarkan ilmu dan cinta di setiap penjuru pikiran manusia.
Itulah kekuasaan spiritual, kata Anis Matta. Kekuasaan yang mampu menimbulkan ketaatan atas dasar pengakuan tulus, bukan ketakutan atas ancaman. Kekuasaan yang mampu menimbulkan ketundukan atas dasar hormat dan cinta.

Seni mendengarkan
Kemampuan untuk mempengaruhi orang lain ini, dengan ilmu, lisan, dan kepribadian, akan semakin ampuh jika ditambah dengan seni mendengarkan. Mengapa harus mendengarkan? Memang, kebanyakan orang senang berbicara mengenai diri sendiri, baik mengenai keberhasilan maupun masalah mereka.
Padahal, jika ingin menjadi seorang pemimpin sejati ia harus pandai mendengarkan. Jika seorang teman atau bawahan ingin menyampaikan masalah yang dihadapinya, pergunakanlah telinga dengan penuh simpati dan perhatian. Jika dia minta nasehat, berikan beberapa anjuran. Jangan sekali- kali membicarakan masalah Anda sendiri. Orang tersebut tidak ingin mendengarkan apa yang Anda katakan. Tetapi jika Anda ingin mempengaruhi orang itu supaya melakukan sesuatu untuk Anda, maka dengarkanlah apa yang mereka sampaikan.
Sejak lahir kita dianugerahkan Allah dua telinga dan satu mulut. Dua telinga berfungsi sebagai alat pendengaran, dan mulut berfungsi sebagai sarana untuk berbicara. Allah menghendaki bahwa kita, sebagai hambanya, harus pandai mendengarkan dua kali lipat dibandingkan dengan berbicara.
Untuk memanfaatkan anugerah Allah ini, berikut diuraikan lima kiat meningkatkan kemampuan mendengarkan. Kiat pertama adalah berhenti berbicara. Tahan keinginan Anda untuk berbicara atau hanya sekedar memberi komentar dengan mengendalikan emosi Anda saat rekan atau bawahan Anda menyampaikan pendapatnya. Kedua, tunjukan minat terhadap topik pembicaraan orang lain dengan cara mengajukan pertanyaan.
Ketiga, ciptakan suasana tentram bagi pembicara dengan cara menampakkan raut wajah yang bersahabat dan senyuman yang ramah. Keempat, berempatilah dengan pembicara. Seandainya Anda sebagai orang yang hendak menyampaikan pendapatnya kepada orang lain atau atasan Anda, apa yang Anda harapkan dari mereka? Posisikan diri anda sebagai orang lain yang sedang berbicara.
Kelima, jadilah orang sabar agar dapat melaksanakan keempat kiat meningkatkan kemampuan mendengarkan tersebut. Menjadi orang sabar tentunya memerlukan waktu dan perjalanan waktu akan menuntun Anda menjadi seorang pemimpin yang sejati.

Selasa, 11 November 2008

SMART vision

Suatu ketika, Abdullah bin Zubair, Mush’ab bin Umair, Urwah bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan duduk bersama dalam satu majelis. Salah seorang dari mereka melontarkan pertanyaan, ”Mari kita ber-angan karena Allah, apa yang kalian inginkan?”
”Aku ingin memiliki wilayah Hijaz dan menjadi khalifah di atasnya,” kata Abdullah bin Zubair.
”Aku ingin menguasai wilayah Iraqain (Kufah dan Basrah),” kata Mush’ab bin Umair.
”Aku ingin memiliki seluruh bumi, dan menjadi khalifah setelah Mu’awiyah,” kata Abdul Malik bin Marwan.
”Aku ingin menjadi seorang yang alim, banyak beramal, menjadi rujukan manusia. Lalu aku unggul di akhirat dengan ridha Allah dan surga-Nya,” kata Urwah bin Zubair.
Pada akhirnya, Allah mewujudkan cita-cita keempat tokoh tersebut. Abdullah berhasil menguasai Hijaz dan diangkat menjadi khalifah. Mush’ab mampu menguasai Iraqain. Abdul Malik juga menjadi khalifah setelah Mu’awiyah dan Urwah menjadi ulama yang terkenal sebagai rujukan kaum Muslimin dalam mempelajari Al-Quran dan sunnah Rasul.
Begitulah orang-orang besar hidup sukses berawal dari membangun mimpi. Cita-cita. Visi. Itulah yang mesti sobat miliki untuk menjadi sukses. Mereka dari awal sudah memetakan dengan tepat visi hidup mereka. Ada sebuah kalimat bijak, ”mimpi hari ini adalah kenyataan di hari esok”. Ya, kesuksesan pada masa depan dimulai dari membangun mimpi yang tepat pada saat ini.
Sama halnya dengan memimpin sebuah organisasi. Kesuksesan sobat sebagai pemimpin dimulai dari membangun visi yang tepat. Seperti apa? Ada lima syarat, yang terkenal dengan singkatan SMART. Artinya Spesific, Measurable, Achievable, Reasonable, dan Time-phased.

1. Spesific
Spesific artinya tertentu atau khusus. Jelas. Gamblang. Tidak kabur. Coba kita lihat bagaimana ke-empat tokoh di atas, Abdullah bin Zubair, Mush’ab bin Umair, Urwah bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan, masing-masing memiliki cita-cita yang jelas. Mereka dengan gamblang menceritakan visi yang ingin dicapai dalam hidup mereka. Gambaran yang jelas mengenai visi menjadi salah satu faktor kunci yang akan menentukan konsistensi sobat ketika menghadapi masalah. Ingat kisah Abdullah bin Rawahah dalam perang Mu’tah di edisi kemarin!
Masing-masing juga menentukan visi hidup yang berbeda satu sama lain. Itulah makna dari ”khusus” di atas. Setiap kita biasanya memiliki ke-khas-an tersendiri dalam menentukan cita-cita. Visi yang sobat tentukan, jangan terpengaruh oleh orang lain. Meminta pertimbangan orang lain itu boleh, tapi bukan kemudian berarti kita tidak memiliki prinsip sehingga malah terombang-ambing. Akhirnya, malah tidak jelas lagi visinya. Oke?
Nah, dengan visi yang jelas dan khas, sobat akan lebih mudah dalam menentukan kebijakan-kebijakan organisasi. Seluruh kebijakan, aktivitas, dan kerja organisasi akan diarahkan pada bagaimana agar visi itu tercapai. Dalam hal ini, visi yang spesifik ibarat kompas bagi kapal. Bayangkan berjalan mengarungi lautan tanpa penunjuk arah! Gak kebayang deh...

2. Measurable
Yang kedua adalah measurable, artinya terukur. Maksudnya, sobat memiliki parameter-parameter yang jelas untuk mengukur tingkat keberhasilan sobat dalam mencapai visi sobat. Kita bisa melihat sukses tidaknya sobat dari parameter tersebut. Apa yang bisa sobat dapatkan dari pencapaian visi yang sobat rencanakan. Itu intinya.
Coba sobat perhatikan pernyataan Abdullah bin Zubair! Dia ingin memiliki wilayah Hijaz dan menjadi khalifah di atasnya. Parameter apa yang bisa dilihat? Ya, beliau baru akan merasa sukses jika tidak hanya memiliki Hijaz saja, tapi juga dengan menjadi khalifah di wilayah tersebut. “…………menjadi khalifah di atasnya”. Itulah kalimat yang nenunjukkan bahwa visi Abdullah bin Zubair adalah visi yang measurable.
Bagaimana dengan mengelola organisasi? Sama juga. Sobat harus memiliki ukuran-ukuran yang jelas untuk mengukur tingkat keberhasilan visi yang tercapai. Pada level-level mana organisasi tersebut dikatakan sukses atau gagal? Misalnya ada sebuah RISMA (organisasi remaja masjid) punya visi membentuk remaja yang berakhlak sholeh. Nah, akhlak sholeh seperti apa yang ingin dicapai? Perlu ukuran untuk menjelaskan level sholeh tersebut. Sobat harus miliki itu. Itulah inti dari visi yang measurable. Kemudian,…

3. Achievable
Achievable atau dapat dicapai. Tentukan pencapaiannya. Target yang ingin kita capai itu apa. Nah, target itu haruslah yang rasional. Yang seperti apa? Yang sobat dapat mencapainya. Bukan yang muluk-muluk. Hanya sekedar mimpi belaka tanpa pernah bisa terealisasi.
Kembali kita memperhatikan pernyataan Urwah bin Zubair di atas. Pada kalimat terakhir, beliau ingin menjadi manusia yang unggul di hadapan Allah SWT. Nah, bagaimana beliau bisa mencapainya? Jawabnya adalah dengan menjadi seorang yang alim, banyak beramal dan menjadi rujukan manusia dalam ilmu agama.
Sebagaimana Urwah bin Zubair, sobat harus bisa merinci, atau setidaknya memiliki gambaran, kira-kira untuk bisa mencapai visi tersebut apa yang mesti dilakukan. Cara apa yang mesti sobat rencanakan. Jalan mana yang mesti sobat lalui sehingga visi tercapai. Visi bisa dikatakan achievable adalah ketika visi itu memiliki skenario atau rencana bagaimana pencapaiannya.
Kalau sobat ternyata tidak tahu harus bagaiamana? Berpikir yang keras untuk mencari jalan. Kalau masih belum ketemu, masih bingung? Boleh jadi, visi sobat memang tidak memenuhi syarat achivable.

4. Reasonable
Reasonable itu bisa diartikan layak, pantas, dan masuk akal. Realistis. Sobat mesti menentukan visi yang layak, pantas dan masuk akal bagi sobat untuk mencapainya. Untuk itu mesti ada alasan yang menjadikan visi sobat realistis. Lagi-lagi, tidak muluk-muluk sehingga bisa tercapai. Kata seorang teman, tahu diri dikitlah…
Tapi itu bukan berarti kemudian kita terus pasang target rendah. Nggak gitu... Kita tetap menentukan cita-cita yang setinggi-tingginya, hanya catatannya mesti yang realistis. Istilah kerennya, kita tidak over-estimate tapi juga tidak under-estimate. Apa itu? Tanya mbak atau mas yang biasa ngisi kajian di musholla sekolah.
Jadi, visi yang reasonable adalah yang realistis. Yang sesuai dengan situasi dan kondisi kita. Kapasitas kita sangat menentukan realistis tidaknya visi yang kita buat. Tentang visi ke-empat tokoh di atas, adalah realiastis karena memang kapasitas mereka layak untuk memiliki obsesi setinggi itu.
Contoh visi yang tidak reasonable adalah organisasi RISMA yang punya visi membentuk generasi pelajar yang berprestasi. Letak ketidak-reasonable-annya di mana? Jelas di ”generasi pelajar”nya, karena RISMA adalah organisasi dengan anggota remaja masjid. Masa anggotanya remaja masjid, kok malah ngurus palajar. Nggak nyambung-kan?

5. Time-phased
Time-phased, ini artinya visi kita mesti memiliki frame waktu yang jelas. Memiliki tahapan-tahapan waktu dalam pencapaiannya. Maksudnya, ada kejelasan waktu kapan kita akan memulai, sampai target kapan visi tersebut harus tercapai. Semua kerja tersusun dalam urutan waktu pelaksanaan yang tertata. Ini akan membantu kita dalam mengukur sukses atau gagalnya pencapaian visi kita. Selain itu, terlambat tidaknya visi tercapai juga dapat dilihat.
Abdul Malik bin Marwan memiliki visi dengan time-phased yang jelas. Beliau ingin menjadi setelah Mu’awiyah. Di sini terlihat bahwa, time-phased tidak hanya melulu terpaku pada satuan waktu yang biasa kita kenal, misal tahun, bulan, umur, dsb. Tetapi yang ditekankan adalah pada urutan atau tahapan kerja dengan alokasi waktu masing-masing. Gitu…....

1)* Pustaka: Meraih Kekuatan dari yang Maha Kuat. M. Lili Nur Aulia. Pustaka Da’watuna. 2005

Memimpin dengan Visi
Rombongan besar pasukan Muslimin ekspedisi penaklukan Romawi telah berangkat. Sampai di suatu tempat yang dikenal dengan Ma’an, rombongan berhenti untuk istirahat. Di sana pasukan Muslimin mendengar kabar bahwa jumlah pasukan musuh (Romawi) jauh lebih besar. Tiga puluh ribu pasukan Muslimin akan berhadapan dengan 200 ribu tentara Romawi. Mengetahui kabar itu, seketika semangat sebagian pasukan Muslimin menurun. Muncul keraguan dan pesimisme. Dalam pada itu, muncul usulan untuk berkirim surat kepada Rasulullah dan menceritakan kekuatan lawan.
Mendengar itu, salah seorang komandan perang, Abdullah bin Rawahah segera berkata, “Demi Allah, apa yang kalian tak sukai justru merupakan tujuan kalian sebenarnya. Bukankah kalian menginginkan mati syahid? Kita memerangi musuh bukan karena mengandalkan jumlah, kekuatan, maupun banyaknya tentara. Kita memerangi meraka atas nama agama ini yang karenanya Allah memuliakan kita. Majulah! Kita pasti akan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan. Menang atau syahid!”
Serentak pekik takbir bergema. Pasukan Muslimin bersepakat untuk meneruskan perjalanan ekspedisi. Sampai di suatu tempat yang bernama Mu’tah, pertempuran terjadi. Dan kemudian Allah menganugerahkan kemenangan bagi kaum Muslimin. Pasukan Romawi berhasil dipukul mundur, kembali ke negerinya.
Salah satu hikmah yang menarik dari penggalan kisah di atas adalah bagaimana kepiawaian Abdullah bin Rawahah sebagai salah satu pimpinan pasukan mengembalikan semangat perang yang mulai surut. Bagaimana dia, dengan kemampuan pidatonya, mampu membangun kembali optimisme pasukan Muslimin meski akanmenghadapi musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Jawabannya terletak pada visi.
Visi adalah cita-cita. Tujuan akhir. Mimpi yang ingin dicapai. Yang kemudian memberikan dorongan bagi kita untuk berusaha hingga mimpi itu tercapai. Dalam sebuah organisasi, visi adalah tujuan akhir yang akan memberikan jawaban untuk apa organisasi tersebut terbentuk, kemudian merencanakan dan menjalankan program kerjanya. Organisasi tanpa visi akan menjadi organisasi tanpa tujuan.
Kita ibaratkan suatu organisasi dengan sebuah kapal yang sedang melakukan perjalanan. Pelabuhan tujuan kapal berlabuh adalah analogi dengan visi bagi organisasi. Nah, nahkoda kapal ibarat pemimpin bagi organisasi dengan ABK adalah anak buahnya.
Agar sampai pada tujuan, maka nahkoda dan ABK kapal harus tahu tujuan kemana kapal akan berlabuh. Jika suatu ketika, karena cuaca misalnya, kapal berbelok menuju ke arah yang salah, maka dengan mudah nahkoda dapat mengembalikan arah kapal tetap pada posisi yang benar. Nahkoda akan mengerahkan segenap ABK-nya untuk membuat kapal berjalan tetap megarah pada pelabuhan tujuan.
Visi menjadi penting ketika terjadi gejolah dalam organisasi. Seperti yang terjadi pada Abdullah bin Rawahah dan pasukannya. Ketika dia merasakan pasukannya mengalami lemah semangat, bukan karena jumlah pasukan musuh, tetapi sebenarnya karena pasukannya lupa dengan niat awal kenapa mereka harus berperang. Maka dengan segera ia mengingatkan seluruh pasukannya tentang tujuan awal kenapa mereka dikirim dalam ekspedisi ini. Ia dengan lantang menyampaikan bahwa visi pasukan adalah untuk meraih kemenangan atau menggapai syahid, maka jumlah pasukan musuh bukan alasan untuk mundur. Itulah arti penting sebuah visi bagi seorang pemimpin.
Jika sobat menjadi seorang pemimpin sebuah organisasi (OSIS, ROHIS, remaja masjid, dsb.) maka sobat harus memahami visi atau tujuan organisasi yang sobat pimpin. Agar sobat tidak kebingungan ketika harus menjalankan fungsi kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Pemahamam tentang visi organisasi akan menentukan bagaimana sobat mengelola dan mengaturnya. Kebijakan-kebijakan yang sobat ambil sangat ditentukan oleh pemahaman sobat tentang visi organisasi. Visi akan menjadi bingkai dari semua yang terjadi dalam sebuah organisai.
Kinerja kepemimpinan sobat bisa dilihat dari pencapaian atas visi yang telah ditetapkan. Maka semua program kerja yang direncanakan harus mengacu pada bagaimana visi organisasi bisa tercapai. Misal, ada sebuah organisasi yang visinya adalah memiliki anggota yang berakhlak sholeh. Maka program kerja dan kebijakan sobat harus diarahkan pada bagaimana membuat anggota menjadi berakhlak sholeh semua.
Sobat sendiri harus memiliki visi memimpin. Pertanyaannya adalah visi seperti apa yang mestinya kita miliki?